Abu Ayub Al-Anshari, Pahlawan Perang Konstantinopel
By: Furqon Al-Mazy
Ketika
Rasulullah memasuki kota Madinah, unta yang beliau tunggangi bersimpuh di depan
rumah Bani Malik bin Najjar. Maka beliau pun turun dari atasnya dengan penuh
harapan dan kegembiraan. Salah seorang Muslim tampil dengan wajah berseri-seri
karena kegembiraan yang membuncah. Ia maju lalu membawa barang muatan dan
memasukkannya, kemudian mempersilakan Rasulullah masuk ke dalam rumah. Nabi SAW
pun mengikuti sang pemilik rumah.
Siapakah
orang beruntung yang dipilih sebagai tempat persinggahan Rasulullah dalam
hijrahnya ke Madinah ini, di saat semua penduduk mengharapkan Nabi mampir dan
singgah di rumah-rumah mereka? Dialah Abu Ayub Al-Anshari Khalid bin Zaid, cucu
Malik bin Najjar.
Pertemuan ini bukanlah yang pertama kalinya. Sebelumnya, sewaktu utusan Madinah
pergi ke Makkah untuk berbaiat dalam baiat Aqabah Kedua, Abu Ayub Al-Anshari
termasuk di antara 70 orang Mukmin yang mengulurkan tangan kanan mereka ke
tangan kanan Rasulullah serta menjabatnya dengan kuat, berjanji setia dan siap
menjadi pembela.
Dan
kini, ketika Rasulullah bermukim di Madinah dan menjadikan kota itu sebagai
pusat agama Allah, maka nasib mujur yang sebesar-besarnya telah terlimpahkan
kepada Abu Ayub, karena rumahnya dijadikan tempat pertama yang didiami
Rasulullah. Beliau akan tinggal di rumah itu hingga selesainya pembangunan
masjid dan bilik beliau di sampingnya.
Sejak orang-orang Quraisy bermaksud jahat terhadap Islam dan berencana
menyerang Madinah, sejak itu pula Abu Ayub mengalihkan aktifitasnya dengan
berjihad di jalan Allah. Ia turut bertempur dalam Perang Badar, Uhud dan
Khandaq. Pendek kata, hampir di tiap medan tempur, ia tampil sebagai pahlawan
yang siap mengorbankan nyawa dan harta bendanya.
Semboyan yang selalu diulang-ulangnya, baik malam ataupun siang, dengan suara
keras atau perlahan adalah firman Allah SWT, "Berjuanglah
kalian, baik di waktu lapang, maupun waktu sempit..." (QS
At-Taubah: 41).
Sewaktu
terjadi pertikaian antara Ali dan Muawiyah, Abu Ayub berdiri di pihak Ali tanpa
sedikit pun keraguan. Dan kala Khalifah Ali bin Abi Thalib syahid, dan khilafah
berpindah kepada Muawiyah, Abu Ayub menyendiri dalam kezuhudan. Tak ada yang
diharapkannya dari dunia selain tersedianya suatu tempat yang lowong untuk
berjuang dalam barisan kaum Muslimin.
Demikianlah, ketika diketahuinya balatentara Islam tengah bergerak ke arah
Konstantinopel, ia segera memegang kuda dan membawa pedangnya, memburu syahid
yang sejak lama ia dambakan.
Dalam pertempuran inilah
ia menderita luka berat. Ketika komandannya datang menjenguk, nafasnya tengah
berlomba dengan keinginannya menghadap Ilahi. Maka bertanyalah panglima pasukan
waktu itu, Yazid bin Muawiyah, "Apakah keinginan anda wahai Abu
Ayub?"
Abu Ayub meminta kepada Yazid, bila ia telah meninggal agar jasadnya dibawa
dengan kudanya sejauh jarak yang dapat ditempuh ke arah musuh, dan di sanalah
ia akan dikebumikan. Kemudian hendaklah Yazid berangkat dengan balatentaranya
sepanjang jalan itu, sehingga terdengar olehnya bunyi telapak kuda Muslimin di
atas kuburnya, dan diketahuinya bahwa mereka telah berhasil mencapai
kemenangan.
Dan sungguh, wasiat Abu
Ayub itu telah dilaksanakan oleh Yazid. Di jantung kota Konstantinopel yang
sekarang yang sekarang bernama Istanbul, di sanalah terdapat pekuburan
laki-laki besar.
Hingga
sebelum tempat itu dikuasai orang-orang Islam, orang Romawi dan penduduk
Konstantinopel memandang Abu Ayub di makamnya itu sebagai orang suci. Dan yang
mencengangkan, para ahli sejarah yang mencatat peristiwa-peristiwa itu berkata,
"Orang-orang Romawi sering berkunjung dan berziarah ke kuburnya dan
meminta hujan dengan perantaraannya, bila mereka mengalami kekeringan."
Jasad Abu Ayub Al-Anshari
masih terkubur di sana, namun ringkikan kuda dan gemerincing pedang tak
terdengar lagi. Waktu telah berlalu, dan kapal telah berlabuh di tempat tujuan.
Abu Ayub telah menghadap Ilahi di tempat yang ia dambakan.